Selasa, 14 Juni 2011

SASARAN TARBIYAH DALAM KISAH AL-QUR'AN

Sasaran-sasaran Tarbiyah Islamiyah dalam Kisah-kisah Qur’ani
Sebagai sararan tarbiyah maka al-Quran mengisyaratkan antara lain:
Pertama: Tarbiyah Qalbiyah-Imaniyah-Ruhiyah yakni melalui kisah Qur’ani Murabbi (Tuhan) membidik umat manusia agar selalu memantapkan hati dan jiwa yang penuh iman (iman letaknya dalam hati), menjaganya dan meningkatkan kualitas dan menyempurnakannya. Ruhani manusia agar terus menerus dapat kontak dengan Rabbnya tanpa terputus dengan pergulatan, penderitaan, kenestapaan hidup, kemawahan dunia serta kekejaman dan tipudaya syetan-nafsu birahi.
Kedua: Tarbiyah ‘Aqliyah-Fikriyah yakni melalui kisah Qur’ani Murabbi (Tuhan) berkeinginan agar manusia mengerahkan daya dan kemampuan untuk mengembangkan akal (daya pikir), mendidik dan meluaskan wawasan dan cakrawala berpikir, baik kemampuan ini dikerahkan oleh Murabbi dengan mendidik orang lain atau dikerahkan oleh individu terhadap dirinya sendiri dalam rangka mengembangkan dan mendidik akal pikirannya serta meluaskan cakrawala berpikirnya sehingga setelah mengikuti alur kisah peserta didik (pembaca/pendengar) dapat mengambil pengajaran yang bermanfaat.
Ketiga: Tarbiyah Khuluqiyah yakni sebuah pelatihan manusia untuk berakhlak mahmudah (mulia) dan memiliki kebiasaan sifat-sifat terpuji, sehingga akhlak dan adat kebiasaan tersebut terbentuk menjadi karakter dan sifat tertanam kuat dalam diri manusia, yang dengannya ia mampu meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dan terbebas dari akhlak madzmumah (tercela).

Selasa, 29 Maret 2011

PENDIDIKAN ANAK

BEBERAPA KEGAGALAN DALAM MENDIDIK ANAK
Sebagian orang tua ada yang menganggap pendidikan sebagai masalah yang sepele, mereka menelantarkan pendidikan anaknya dengan tanpa ada beban sedikit pun. Mereka beranggapan bahwa tugasnya hanyalah memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Mereka lupa firman Allah subhanahu wata’ala, artinya“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (at-Tahrim:6). Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata mengomentari ayat ini, " Ajarilah mereka dan didiklah mereka."Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Barang siapa yang melalaikan pendidikan anaknya dengan hal-hal yang bermanfaat serta meninggalkannya secara sia-sia, maka berarti telah berbuat buruk kepada anak seburuk-buruknya. Kebanyakan anak menjadi rusak adalah disebabkan orang tuanya, karena tidak adanya perhatian kepada mereka, serta tidak diajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban agama dan sunah-sunnahnya.”
Terlalu Ketat
Ini kebalikan dari kekeliruan di atas, seakan-akan orang tua adalah seorang pengawas yang selalu memonitor seluruh kegiatan anak tanpa mempedulikan perkembangan kepribadian si anak. Seluruh pendapat orang tua harus diterima dan si anak tidak boleh memiliki pilihan lain kecuali mengikuti dan taat secara membabi buta.Kesalahan dalam hal ini menyebabkan dampak negatif sebagai berikut:

• Lemahnya kepribadian anak dan hilangnya rasa percaya diri.
• Anak akan menderita.
• Melemahnya daya kreativitas anak.
• Penyimpangan setelah anak tumbuh besar, yaitu dia merasa terbebas dari belenggu yang selama ini mengikatnya sehingga dia akan enggan menerima berbagai ketentuan dan tekanan meskipun ketentuan tersebut adalah berupa kebaikan dan kebenaran.
• Menyebabkan anak menderita sakit, baik fisik atau psikologis.

Metode pendidikan yang baik menekankan supaya anak diberikan kebebasan dalam hal yang berkaitan dengan urusan khusus mereka, baik dalam mengambil keputusan, mengemukakan keinginan atau pendapat dan tanggung jawab. Tetapi dengan catatan bahwa semua itu harus dalam koridor perilaku yang baik dan adab yang mulia yang senantiasa harus ditanamkan dalam jiwa si anak.
Tidak Konsisten
Orang tua adalah orang yang memberikan pengaruh pertama kali kepada anak, dan banyak menanamkan sifat atau kebiasaan kepada mereka. Jika orang tua berakhlak dengan akhlak dan perilaku yang baik, maka anak akan terpengaruh dengan sifat-sifat positif tersebut. Namun jika ada pertentangan, di satu sisi orang tua menyuruh sesuatu namun ia melakukan yang sebaliknya (inkonsisten), maka itu akan memberikan dampak negatif bagi anak.
Di antara sikap tidak konsisten yang dimaksudkan misalnya orang tua menyuruh jujur namun dia sendiri sering bohong, menyuruh menepati janji namun dia sering ingkar janji, menyuruh shalat tetapi dia sendiri meninggalkannya, atau melarang dari merokok tetapi dia justru merokok dan lain sebagainya
Keras Hati
Anak harus diperlakukan dengan lembut, santun dan kasih sayang, dan ini merupakan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memperlakukan anak kecil. Diriwayat-kan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, "Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencium al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu, sedang di sisinya ada al-Aqra' bin Habis, maka al-Aqra' berkata, "Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh anak, tetapi aku tidak pernah mencium salah seorang pun dari mereka." Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memandang kepadanya lalu bersabda, "Barangsiapa tidak mengasihi maka tidak akan dikasihi." (Muttafaq 'alaih)
Pada masa lalu orang beranggapan bahwa kekerasan dan pukulan akan menumbuhkan kekuatan, keberanian dan sikap jantan kepada anak-anak, lalu akan menjadikan mereka mampu memikul beban dan bersikap mandiri. Namun ternyata ini adalah anggapan yang keliru, sebab kekerasan akan memberikan bekas psikologis yang menyakitkan pada diri anak. Lalu mendorang si anak menjadi pembangkang dan suka melawan, serta menghalangi mereka untuk sampai pada kematangan berpikir. Juga menyebabkan mereka merasa dihinakan, dilecehkan sehingga kehilangan rasa kemuliaan dirinya.
Ini bukan berarti larangan untuk memberikan sanksi kepada anak, bahkan terkadang perlu untuk memberikan sanksi kepada mereka namun dengan catatan hukuman tersebut tidak melewati batas-batas norma kasih sayang kepada anak.

Meremehkan Kemungkaran
Meremehkan kemungkaran sering dilakukan oleh orang tua, dengan alasan bahwa si anak masih kecil, nanti kalau sudah besar dia akan tahu sendiri dan meninggalkannya. Hal ini tidak benar, sebab membiasakan anak dengan sesuatu di masa kecil menyebabkan dia sulit untuk meninggalkannya ketika sudah besar.

Di antara bentuk keteledoran dalam hal ini adalah tidak meng-anjurkan shalat kepada anak-anak serta tidak perhatian terhadapnya. Meskipun orang tua rajin shalat tetapi membiarkan anak tidak shalat adalah kesalahan. Demikian juga membiasa-kan mereka mendengarkan musik, meniru kebiasaan dan pakaian orang kafir, terobsesi dengan popularitas para artis dan lain sebagainya.
Statis Dalam Pendidikan
Orang tua tidak boleh statis dalam mendidik anak, dengan tanpa ada kemajuan dan pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman. Sebagian orang ada yang hanya mengajari anak dengan ketrampilan atau pengetahuan yang bersifat turun temurun. Mereka enggan dengan ketrampilan modern seperti komputer, bahasa asing, berpidato, menulis atau bela diri modern.Ini menyebabkan anak ketinggalan oleh temannya yang telah mempelajari ketrampilan-ketrampilan tersebut. Akibatnya anak merasa rendah diri dan tidak percaya diri untuk bergaul dengan teman-temannya yang unggul dalam berbagai aspek.
Tidak Mengakui Kesalahan
Terkadang ada orang tua yang menghukum anak secara zhalim, ada pula di antara mereka yang menuduh anaknya melakukan ini dan itu padahal tidak melakukannya, ada pula yang memukul anaknya dengan sebab pengaduan bohong dan lain sebaginya. Kemudian setelah itu orang tua tahu bahwa dirinya adalah yang salah dalam mengambil tindakan, tetapi dia tidak mau minta maaf kepada si anak, tidak mengakui kesalahannya, seakan-akan anaknya tidak punya hak apa-apa, tidak punya kemuliaan dan perasaan.
Ini merupakan perilaku yang salah, yang dapat menumbuhkan sifat buruk pada diri anak seperti besar kepala, ghurur (sok), meskipun dia bersalah. Padahal jika orang tau mau minta maaf kepada anaknya, maka ini merupakan tindakan yang baik karena secara tidak langsung anak dididik untuk merubah kesalahan, sehingga dia pun akan mengikuti perilaku ini, tunduk kepada kebenaran, mengakui kesalahan dan toleran kepada orang lain.
Mengambil Keputusan Sendiri
Misalnya seorang ayah tidak melakukan musyawarah bersama anggota keluarga dalam memutuskan hal-hal yang terkait dengan urusan keluarga. Kalau ada anggota keluarga yang protes atau tidak mau mengikuti keputusan tersebut maka si ayah akan mengancam begini dan begini.
Sikap otoriter dalam keluarga adalah tidak benar, yang baik adalah mengumpulkan seluruh anggota keluarga lalu bermusyawarah, masing-masing mengemukakan pendapatnya dan terakhir dipilih pendapat yang paling baik dan tepat.

Tidak Diajari Menghormati Privasi
Anak hendakya diajari hal-hal yang berkaitan dengan masalah pribadi dan khusus. Seperti harus meminta izin jika mau masuk kamar orang tua, terutama dalam waktu-waktu istirahat. Begitu juga diajari supaya tidak masuk ke tempat-tempat orang lain tanpa izin, tidak boleh membuka sesuatu yang tertutup yang bukan miliknya, baik pintu rumah, almari, buku, dompet, tas dan lain sebagainya.

Orang tua pun harus memulai dari dirinya lebih dahulu, misalnya mengetuk pintu jika mau masuk kamar anaknya, menutupi rahasianya, dan menghormati hak-hak dan milik pribadinya.
Menjauhkan Anak dari Majlis Orang Dewasa
Sebagian orang tua memandang aib jika seorang anak terlibat dalam majlis orang dewasa. Dalam kondisi tertentu hal ini dibenarkan, namun terkadang anak perlu untuk dilibatkan dalam majlis orang dewasa supaya dapat mengambil manfaat, belajar dan untuk menum-buhkan sikap percaya diri mereka.
Metode pendidikan Islam menunjukkan bahwa seorang anak tidak dilarang untuk bergabung bersama orang dewasa, baik dalam majlis-majlis, di masjid, dalam perjalanan atau perkumpulan lainnya. Dengan ini anak dapat bertambah pengalaman, ikut andil dalam pekerjaan dan melatih diri untuk memikul tanggung jawab.
Wallahu a’lam.

RENUNGAN

Keselarasan IMTAQ dan IPTEK
“Barang siapa ingin menguasai dunia dengan ilmu, barang siapa ingin menguasai akhirat dengan ilmu, dan barang siapa ingin menguasai kedua-duanya juga harus dengan ilmu” (Al-Hadist).
Perubahan lingkungan yang serba cepat dewasa ini sebagai dampak globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), harus diakui telah memberikan kemudahan terhadap berbagai aktifitas dan kebutuhan hidup manusia.
Di sisi lain, memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan perilaku khususnya para pelajar dan generasi muda kita, dengan tumbuhnya budaya kehidupan baru yang cenderung menjauh dari nilai-nilai spiritualitas. Semuanya ini menuntut perhatian ekstra orang tua serta pendidik khususnya guru, yang kerap bersentuhan langsung dengan siswa.
Dari sisi positif, perkembangan iptek telah memunculkan kesadaran yang kuat pada sebagian pelajar kita akan pentingnya memiliki keahlian dan keterampilan. Utamanya untuk menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik, dalam rangka mengisi era milenium ketiga yang disebut sebagai era informasi dan era bio-teknologi. Ini sekurang-kurangnya telah memunculkan sikap optimis, generasi pelajar kita umumya telah memiliki kesiapan dalam menghadapi perubahan itu.
Don Tapscott, dalam bukunya Growing up Digital (1999), telah melakukan survei terhadap para remaja di berbagai negara. Ia menyimpulkan, ada sepuluh ciri dari generasi 0 (zero), yang akan mengisi masa tersebut. Ciri-ciri itu, para remaja umumnya memiliki pengetahuan memadai dan akses yang tak terbatas. Bergaul sangat intensif lewat internet, cenderung inklusif, bebas berekspresi, hidup didasarkan pada perkembangan teknologi, sehingga inovatif, bersikap lebih dewasa, investigative arahnya pada how use something as good as possible bukan how does it work. Mereka pemikir cepat (fast thinker), peka dan kritis terutama pada informasi palsu, serta cek ricek menjadi keharusan bagi mereka.
Sikap optimis terhadap keadaan sebagian pelajar ini tentu harus diimbangi dengan memberikan pemahaman, arti penting mengembangkan aspek spiritual keagamaan dan aspek pengendalian emosional. Sehingga tercapai keselarasan pemenuhan kebutuhan otak dan hati (kolbu). Penanaman kesadaran pentingnya nilai-nilai agama memberi jaminan kepada siswa akan kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan saja selama di dunia tapi juga kelak di akhirat

Selasa, 08 Februari 2011

TUJUH CIRI MANUSIA SOK TAHU

7 Ciri Sok Tahu

'Sok tahu' pada dasarnya adalah "merasa sudah cukup berpengetahuan" padahal sebenarnya kurang tahu. Mari kita mengambil hikmah dari Al-Qur'an. Ada beberapa ciri 'sok tahu' yang bisa kita dapatkan bila kita menggunakan perspektif tafsir surat al-'Alaq.

1. Enggan Membaca
Ketika disuruh Jibril, "Bacalah!", Rasulullah Saw. menjawab, "Aku tidak bisa membaca." Lalu malaikat Jibril menyampaikan lima ayat pertama yang memotivasi beliau untuk optimis. Adapun orang yang 'sok tahu' pesimis akan kemampuannya. Sebelum berusaha semaksimal mungkin, ia lebih dulu berdalih, "Ngapain baca-baca teori. Mahamin aja sulitnya minta ampun. Yang penting prakteknya 'kan?" Padahal, Allah pencipta kita itu Maha Pemurah. Ia mengajarkan kepada kita apa saja yang tidak kita ketahui. Orang yg sok tahu akan berkata "Ngapain baca-baca Qur'an lagi. Toh udah khatam 7 kali. Mending buat kegiatan lain aja."

2. Enggan Menulis
Orang yang sok tahu terlalu mengandalkan kemampuannya dalam mengingat-ingat dan menghafal pengetahuan atau ilmu yang diperolehnya. Ia enggan mencatat. "Ngerepotin," katanya. Seolah-olah, otaknya adalah almari baja yang isinya takkan hilang. Padahal, sifat lupa merupakan bagian dari ciri manusia. Orang yang sok tahu enggan mencatat setiap membaca, menyimak khutbah, kuliah, ceramah, dan sebagainya.

3. Membanggakan Keluasan Pengetahuan
Orang yang sok tahu membanggakan kepintarannya dengan memamerkan betapa ia banyak membaca, banyak menulis, banyak mendengar, banyak berceramah, dan sebagainya tanpa menyadari bahwa pengetahuan yang ia peroleh itu semuanya berasal dari Allah. Ia mengira, prestasi yang berupa luasnya pengetahuannya ia peroleh berkat kerja kerasnya saja.

4. Merendahkan Orang Lain Yang Tidak Sepaham
Bagi orang Islam yang sok tahu, siapa saja yang bertentangan dengan pendapatnya, segera saja ia menuduh mereka telah melakukan bid'ah, sesat, meremehkan agama, dan sebagainya. Ia menjadikan dirinya sebagai "Yang Maha Tahu", terlalu yakin bahwa pasti pandangan dirinyalah satu-satunya yang benar, sedangkan pandangan yang lain pasti salah. Padahal, Allah Swt berfirman: "Janganlah kamu menganggap diri kamu suci; Dia lebih tahu siapa yang memelihara diri dari kejahatan." (an-Najm [53]: 32)

5. Menutup Telinga dan Membuang Muka Bila Mendengar Pendapat Lain
Orang yang sok tahu tidak memberi peluang untuk berdiskusi dengan orang lain. Seolah-olah ia berseru, "Adalah hak kami untuk berbicara dan adalah kewajiban kalian untuk mendengarkan. Hak kami menetapkan, kewajiban kalian mengikuti kami. Pendapat kami semuanya benar, pendapat kalian banyak salahnya."

6. Suka Menyatakan Pendapat Tanpa Dasar Yang Kuat
Muslim yang sok tahu gemar menyampaikan pendapatnya dengan mengatasnamakan Islam tanpa memeriksa kuat-lemahnya dasar-dasarnya. Ia suka berkata, "Menurut Islam begini.... Islam sudah jelas melarang begitu...." dan sebagainya, padahal yang ia ucapkan sesungguhnya hanyalah, "Menurut saya begini.... Saya melarang keras engkau begitu...." dan seterusnya.

7. Suka Berdebat Kusir
Setiap berdiskusi ia bertujuan memenangkan perdebatan, bukan mencari kebenaran.

Senin, 31 Januari 2011

TAFSIR TARBAWI

Kandungan al-Qur’an yang sangat luas dan dalam, bagaikan lautan yang tak pernah habis dikaji dan di teliti oleh manusia. Kajian ini tentunya banyak mengabaikan rambu-rambu tata penulisan karya ilmiyah, namun setidaknya penulis telah berusaha mengikuti petunjuk dan ketentuan penulisan ilmiah.Metode penafsiran yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah : Tafsir maudhu'i (tematis), artinya mufassir (baca penulis) tidak memulai dari surat pertama sampai surat ke-114, melainkan memilih satu tema dalam al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut, tentunya menggunakan pengertian secara ijmali.B. Kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS. “Al-Bukhori meriwayatkan sebuah riwayat, yang ringkasnya adalah :Bahwa Nabi Musa. AS berdiri ditengah-tengah Bani Israail dalam suatu pidatonya, lalu beliau ditanya: Siapakah orang yang paling berilmu ? “ maka jawab Musa : “ Saya” Rasa sombong dan keunggulan diri yang tercermin dalam kata-kata Nabi Musa, dikecam oleh Allah yang memperingatkan kepadanya bahwa ilmu itu adalah lebih luas untuk dimiliki oleh seseorang walaupun ia adalah seorang rasul. masih ada hamba Allah yang lain yang lebih alim dari Musa. Musa bertanya kepada Allah : Ya Rabbi bagaimanakah caranya agar saya dapat menjumpai orang tersebut?”. Allah menjawab dengan firmannya “bawalah seekor ikan dan taruhlah pada sebuah kantong sebagai suatu benda. Bila ikan itu hilang, maka engkau akan menjumpainya disana”.Mendengar wahyu tersebut, tergeraklah hati Musa AS untuk menuntut ilmu dan hikmat dari orang yang di sebut oleh Allah, bahwa dia adalah seorang hamba Nya yang lebih pandai dari Nabi Musa AS, yaitu Nabi Khidir AS. seorang pemuda dijadikan teman dalam perjalanan tersebut dan menyuruhnya agar menyediakan seekor ikan sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah kepadanya.Sebelum berangkat, Nabi Musa berjanji bahwa ia tidak akan kembali pulang sebelum ia sampai ke tempat yang dituju, meskipun harus berjalan bertahun-tahun , hal ini dilukiskan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi; 60, ‘Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya: aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun” Lama sudah keduanya berjalan menyusuri pantai lautan nan luas dengan melupakan segala kecapaian dan kelelahan. Mereka terus dan terus berjalan segiat-giatnya menuju tempat yang ditunjukkan oleh Allah SWT. Setelah Nabi Musa dan Yusha bin Nun menempuh perjalanan yang jauh, tanpa disadarinya mereka telah sampai pada daerah pertemuan dua lautan. Pada saat itu Musa duduk bersandar diatas batu karang yang besar di tepi lautan, guna melepaskan rasa lelahnya. Rupanya kelelahan telah menguasai Musa, sehingga ia lupa akan makanan yang dibawanya, dan ia tertidur dengan nyeyak. Tatkala Nabi Musa tertidur, di langit mulai tampak awan yang menggumpal-gumpal berwarna hitam, tak lama kemudian hujan pun turun, dan ikan yang dibawanya basah disiram air hujan, ikan tersebut hidup dan tampak segar kembali, lalu bergerak keluar dari tempatnya dan akhirnya loncat kelautan. Satu-satunya orang yang menyaksikan kejadian tersebut adalah temannya (Yusha). Namun ia lupa tidak menceritakannya kepada Musa. Seperti dilukiskan dalam surat al-Kahfi ayat 61.”Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua lautan itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut” Setelah Nabi Musa bangun dari tidurnya, ia memerintahkan pada pemuda itu untuk bersiap-siap melanjutkan perjalanannya. Perjalanan berikutnya pun di lanjutkan. Setelah lama berjalan ia berhenti dan meminta bekal makannya kepada Yusha, sebagaimana di gambarkan dalam surat al-Kahfi ayat 62. “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”. Rupanya Yusha lupa tidak menceritakan hilangnya ikan tersebut di tempat mereka beristirahat. Setelah Nabi Musa bertanya, baru Yusha menceritakan peristiwa tersebut kepada Nabi Musa. Sebagaimana terekam dalam surat al-kahfi ayat 63 Muridnya menjawab: tahukah kamu tatkala kita mencari tempat perlindunngan di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk meenceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali .Mendengar keterangan dari Yusha, Nabi Musa segera kembali ketempat pemberhentiannya yang semula. Karena ia sudah tahu bahwa di tempat hilangnya ikan itulah adanya Nabi Khidir AS. Hal itu di gambarkan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 64. “Musa berkata: itulah tempat yang kita cari. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula” Baru saja Nabi Musa AS sampai di tempat pemberhentian tadi, beliau mencium bau manusia, maka berkatalah Nabi Musa AS kepada Yusha: “rupanya kita sudah sampai di tempat yang kita tuju” Seorang hamba tadi berbadan kurus dan ramping, sorot matanya tajam dan berkilau-kilau. Pada dirinya terlihat secercah cahaya ke-Nabi-an, gerak air mukanya menandakan seorang yang bertaqwa dan penyantun . Ia berbalut sehelai kain dari ujung kakinya sampai puncak kepalanya. Musa memberi salam kepada orang tersebut dan membuka tutup kepalanya agar terlihat. Orang tua itu bertanya: “aman sajalah engkau dinegeriku, dan siapakah engkau gerangan?”. Nabi Musa menjawab: “Saya adalah Musa”.”Kalau begitu engkau Nabi Bani Israel ?. “Ya” jawab Musa. “siapakah yang menunjukkan engkau ke sini?”. Lalu Nabi Musa menceritakan asal mula keberangkatannya. Selanjutnya Nabi Musa bertanya kepada orang tua itu “Bolehkan aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (al-Kahfi:66). Saya hendak meminta petunjuk dari engkau. Begitu besar hasratku untuk mengiring dan mengikutimu dari belakang, kemanapun engkau akan pergi. Saya ingin bernaung dibawah naunganmu wahai Nabi Khidir, agar aku dapat mengerjakan segala perintahmu dan menghentikan segala laranganmu .Kemudian Nabi Khidir menjawab: “ sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersamaku”. (Al-Kahfi: 67). sebab bila engkau menyertaiku, engkau akan menemukan hal-hal yang ajaib dan ganjil. Nanti engkau akan menemukan hal yang tampak mungkar, padahal isi yang sebenarnya adalah hak. Apalagi engkau sering mendengar urusan ini dan itu dari orang lain, bahkan kerapkali saling mendiskusi dengan mereka, tentu kebiasaan itu akan terjadi juga denganku, maka bagaimana kamu akan bersabar terhadap hal-hal yang berbeda dengan kebiasaanmu dan belum sampai pengetahuan serta pengalamanmu kesana. Kemudian Musa berkata “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusanpun”. Akhirnya Nabi Khidir mengajukan persyaratan. Dia berkata ” jika kamu mengikutiku, maka kamu jangan menanyakan kepadaku tentang suatu apapun, sampai aku menerangkannya kepadamu”, (al-Kahfi: 69-70).Persyaratan itupun diterima oleh Nabi Musa, lalu keduanya berangkat menelusuri tepi pantai. Tiba-tiba mereka melihat sebuah perahu lewat di hadapannya. Nabi Musa dan Khidir menumpang perahu tersebut.Tatkala keduanya berlayar diatas lautan, dan orang yang mempunyai perahu itu lengah, maka kedua helai papan dari dinding perahu tersebut di pecahkan oleh Nabi Khidir, sehingga perahu yang awalnya terlihat bagus sekarang terlihat buruk. Melihat kejadian itu Musa berkata dengan suara keras kepada Nabi Khidir . Musa berkata “Mengapa engkau melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?. Sesungguhnya kamu telah berbuat suatu kesalahan besar”. Mendengar ucapan Musa yang demikian, Nabi Khidir menoleh kepadanya sambil mengingatkan akan syarat dan janjinya pada waktu sebelum mengadakan perjalanan. Dia berkata “Bukankan aku telah berkata, sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”.Mendengar ucapan Nabi Khidir yang demikian, Musa menyadari akan kesalahannya sendiri, lalu meminta maaf dan memohon ampun kepada Allah, sebagaimana terekam dalam surat al-Kahfi ayat 73. “Musa memelas: Janganlah engkau cepat-cepat menghukumku karena aku lupa, dan dalam mengikutimu ini janganlah kamu terlalu mempersulit keadaanku”.Nabi Khidir pun memaafkan Nabi Musa dan mereka tetap berteman dan bersama-sama melanjutkan perjalanan sampai di suatu pulau, mereka turun dari kapal tersebut. Setelah turun dari perahu, keduanya berjalan terus, sampai keduanya menemukan seorang anak, dan anak itu langsung di bunuh oleh Khidir (al-Kahfi:74).Melihat perbuatan Nabi Khidir yang terlihat melanggar syari’at, yakni melakukan pembunuhan terhadap seorang manusia, lebih-lebih terhadap anak kecil yang tiada bersalah, siapa tahu anak tersebut adalah satu-satunya kepunyaan orang tuanya, anak yang paling baik dan dicintai orang tuanya . Sehingga Nabi Musa lupa akan janjinya, kemudian ia bertanya lagi. Musa berkata: “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang ? sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang munkar”. Dengan tenang Nabi Khidir mengingatkan akan janjinya yang sudah di tetapkan sebelumnya, Khidir berkata “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat bersabar bersamaku. Setelah Nabi Musa mendengar itu, alangkah malunya ia, mukanya merah padam, karena sudah dua kali ia melanggar janjinya. Terasalah kini oleh Musa, bahwa karena telah sekian kali melanggar janji, mungkin orang tua itu merasa keberatan untuk disertainya lagi. Berat lisan Musa untuk berkata dan memohon ma’af lagi, takut kalau-kalu orang tua itu merasa jemu mendengar kata-katanya.Akan tetapi hatinya keras untuk tidak berpisah dengan Nabi Khidir agar tetap menyelami lautan pengetahuan yang ada dalam dirinya. Kembali Musa menekankan ke dalam dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan terburu-buru bertanya atau membantahnya lagi, apapun yang akan terjadi dan dilihatnya dari perbuatan Nabi Khidir.Dengan penuh rasa hormat dan khidmat, dia memohon ma’af lagi dan berjanji pada Nabi Khidir. Nabi Musa berkata “Jika aku bertanya kepadamu tentang suatau hal sesudah kali ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah memberikan udzur padaku”.Sesudah kali yang kedua, Khidir dan Musa berangkat sehingga sudah sangat jauh perjalanan keduanya, dan merasa lelah dan lapar. Kemudian mereka berhenti pada suatu kampung dan bermaksud minta pertolongan pada penduduknya. Namun sayang, mereka menolak kedatangan mereka dengan cara kasar. Akhirnya terpaksa keduanya, meninggalkan kampung tersebut dengan tangan hampa dan perut kosong Sebelum bertolak meninggalkan kampung tersebut, keduanya menemukan dindiding yang miring dan hampir roboh. Lalu Khidir mengusapnya dengan tangannya, sehingga dinding itu kembali tegak lurus.Nabi Musa merasa heran dan kagum melihat perbuatan Nabi Khidir, tersebut maka ia berkata “Jika kamu mau, niscaya kamu mengambil apah untuk itu” sebagaimana terekam dalam surat al-Kahfi ayat 77. Musa berkata seperti itu untuk memberikan dorongan kepada Khidir agar mengambil upah dari perbuatannya itu, untuk dinafkahkan dalam membeli makanan dan minuman, tetapi Khidir menolaknya dan menganggap perbuatan Musa ini melanggar janjinya sendiri. Maka Khidir menjatuhkan hukuman baginya.Kemudian Nabi Khidir berkata, sebagaimana tersebut dalam surat al-Kahfi ayat 78 “Inilah perpisahan antara aku dan kamu, aku akan memberitahukan kepadamu akibat dari perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.Sebelum perpisahan itu terjadi, Nabi Khidir menepati janjinya untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi satu persatu, sebagaimana terrkam pada surat al-Kahfi ayat 79-82.Pertama, tentang dirusaknya perahu. Khidir berkata “Adapun perahu (bahtera) itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena bahtera itu ada dihadapan mereka seorang raja yang suka merampas tiap-tiap bahtera yang lewat.Kedua, di bunuhnya anak laki-laki, Khidir berkata: Adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa ia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka anak yang lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kASih sayangnya (kepada bapak ibunya)Ketiga, perbaikan dinding rumah. Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaan dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat Tuhanmu; dan bukan aku melakukannya itu menurut kemauianku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.Dengan demikian jelas bahwa suatu kisah dapat dikatakan berkaitan dengan pendidikan, apabila dalam proses interaksi yang ada pada kisah tersebut terdapat; tujuan pendidikan, pendidik, anak didik, metode, situasi pendidikan, materi atau bahan yang diberikan dalam proses pendidikan, dan alat pendidikan. Unsur-unsur pendidikan inilah yang penulis C. Pembahasan.Nabi Musa AS bertemu dengan Khidhr a.s .dan menjadi muridnya sebagai berikut :60. dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun".61. Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.62.Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena 63.Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali".65. lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.66. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.Interaksi dapat dikatakan edukatif apabila memenuhi beberapa unsur; yaitu : materi, tujuan, pelajar, pendidik, metode, interkasi yang terikat dalam situasi pendidikan dan alat pendidikan. Interkasi yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Khidir Semua ilmu boleh diajarkan kepada murid. tidak terbatas pada masalah duniawi atau ukhrowi saja, dalam kisah diatas ada tiga materi penting yang diberikan oleh Khidir terhadap Musa, (membocorkan perahu, membunuh anak, dan memperbaiki tembok rumah). Materi tersebut hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan, sedangkan inti materi pelajaran tersebut adalah; pelajaran pertama, mengambil tindakan yang bahayanya lebih kecil, untuk menghilangkan atau menolak bahaya yang lebih besar; pelajaran kedua, membunuh anak kecil. Ditinjau dari pandangan lahir, perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela dan dosa besar. Padahal kalau anak itu tetap hidup niscaya ia akan menyesatkan kedua orang tuanya. pelajaran ketiga, memperbaiki tembok rumah, dibawah rumah tersebut terdapat harta peninggalan orang tua kedua anak yatim. Allah menghendaki agar harta tersebut dimiliki keduanya setelah dewasa sebab Allah akan memelihara orang yang shaleh beserta keturunannya. walaupun generasi keluarga tersebut sebelumnya sudah meninggal dunia.Pendidikan berjalan dengan baik apabila kesediaan dan kesetiaan antara murid dan guru sudah terjalin, agar murid dapat memiliki ilmu, ia dituntut untuk memiliki sifat-sifat tertentu.Perjalanan jauh menuju pertemuan dua lautan dan dilanjutkan dengan perlawatan bersama gurunya yang ditempuh dengan melampui daratan dan lautan, Sopan santun terhadap guru dan berendah diri kepadanya tercermin dari permohonan Musa kepada Nabi Khidir, “ bolehkah aku mengikutimu agar kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” )Pendidik adalah salah satu komponen pendidikan yang memegang peranan penting dalam membantu dan mengarahkan anak didik. Sebagai seorang guru yang digugu dan ditiru, maka ia di tuntut memiliki karakteristik yang baik untuk mempengaruhi anak didiknya. Dalam ekspedisinya dengan Nabi Musa, Musa berkali-kali bertanya kepadanya tentang pelajaran yang belum berhak dipelajarinya secara tergesa-gesa. Namun Nabi Khidir menegurnya dengan tenang bahwa muridnya ini tidak akan bersabar. Dari peristiwa tersebut terlihat bahwa metode yang digunakan oleh Nabi Khidir adalah pembiasaan diri agar tidak tergesa-gesa dalam menghukumi sesuatu. Disamping itu terlihat juga Nabi Khidir menegakkan disiplin dengan berusaha untuk menerangkan apa yang disepakatinya sebelum pemberangkatan. Nabi Khidir menggunakan metode uswah hasanah atau memberi suri tauladan yang baik, yaitu selalu berdisiplin, menepati janji, dan sadar akan tujuan. Alat pendidikan. Alat pendidikan merupakan suatu tindakan atau situasi yang sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan tertentu. Jenis alat pendidikan dapat diklasifikasikan baik ditinjau pendidik, anak didik atau situasi pendidikan itu sendiri.Unsur-unsur pendidikan yang meliputi materi, tujuan, peserta didik, pendidik, metode, alat dan situasi pendidikan yang diharapkan, semua itu terkandung dalam kisah Nabi Musa dan Khidir. Maka kisah ini dapat dikatakan sebagai kisah pendidikan lengkap. Dan interaksi antara Nabi Musa dan Khidir adalah interaksi edukatif yang memenuhi unsur-unsur pendidikan yang ada.Terdapat pula nilai-nilai pendidikan akhlak yang dipraktekkan oleh keduanya, seperti kedisiplinan, kasih sayang, tanggungjawab, tidak boleh takabbur, rendah diri dan lain-lainnya. Oleh karena itu kisah ini layak untuk di jadikan amtsilah bagi kaum muslimin
DAFTAR PUSTAKA.Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Beirut,Dar-el-Fikr, tt.
Bey Arifin, Rangkaian Cerita Dalam Al-Qur’an, Bandung, Al-Ma’arif, 1987.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, CV. Toha Putra Semarang, 1987
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1980.
Moh. Norsam dkk, Dasar-dasar Kependidikan, Surabaya, Usaha Nasional, 1981
M. Ja’far. Penganatar Dasar-dasar Kependidikan, Surabaya, Usaha Nasional 1982. Raihan Achwan, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam , Volume I, tahun 1991
Winarno Surakhmad, Metodologi Pengajaran Nasional, Bandung. Tarsito, 1986.
Ahmad Mustofa Al- Maraghi :
Terjemah Tafsir Al-Maraghi Jilid 15, (Semarang: CV. Toha Putra. Cet pertama thn. 1988) hal 335
GURU YANG AKAN BERHASIL
DALAM MENDIDIK
BY: TAUFIK SAKNI
Romadhon mubarok 1430 H
A. PENDAHULUAN
Pada abad ini teknologi dan ilmu pengetahuan telah mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat, namun di balik semua itu tersimpan sejumlah persoalan yang mengkristal tentang eksistensi manusia secara umum, dimana manusia mengalami kegoncangan jiwa dalam kesejahteraan semu. karena manusia terkadang telah memadamkan kehidupan spiritualnya, aktivitas kejiwaan dan hatinya telah diliputi rasa kepemilikan terhadap dunia, harta benda yang tidak berguna, cinta pada kenyataan, dan pengalaman yang serba hebat dan mempesona adalah bentuk goncangan jiwa manusia.
Muara dari goncangan jiwa manusia ini menjadikan tujuan hidup mereka terombang-ambing yang mendorong mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang merusak dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya, hal ini tampak dari berbagai peristiwa yang telah dan sedang terjadi sekarang ini tentang kenakalan remaja, tawuran, pergaulan bebas dan penggunaan narkoba yang merisaukan dan menjadi dilema bagi orang tua, pendidik, masyarakat dan pemerintah bahkan pemuka agama.
Menyiasati berbagai kemungkinan yang akan terjadi di dalam hidup seseorang tak ada lain adalah pendidikan, lantas pendidikan bagaimana yang ideal harus dilaksanakan dalam upaya mempersiapkan anak bangsa menghadapi dunia mereka nantinya, life skill tentunya sangat diperlukan, fasilitas pendidikan yang cukup juga tak dapat ditinggalkan, guru atau tenaga edukatif yang professional dan kompetitif tak juga dapat ditiadakan, dan unsur yang paling penting yang harus dimiliki tenaga edukatif adalah kemampuan mengajar yang juga akan dikendalikan oleh pola_ laku, sikap dan sifat seorang guru.
“ Islam, dengan kaidah-kaidahnya yang yuriprudentif universal, prinsip-prinsip edukatif yng kekal, telah meletakkan pokok dan metode dalam mengembangkan personalitas anak. Perkembangan ini meliputi akidah, moral, fisikal, mental, spiritual dan social “

Agama Islam sesungguhnya agama yang paling sempurna sehingga kemungkinan apapun yang akan dihadapi ummatnya nanti telah disiasati oleh Al-Qur’an, dalam hal pendidikan Al-Qur’an berbicara banyak dengan istilah yang sering kita dengar dengan kata :
Adapun sifat-sifat Asasi pendidik antara lain :
1. Ikhlas.


Artinya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan (dengan ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.



Artinya : Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan(ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.

Begitu urgennya sifat ikhlas ini sehingga banyak juga kita temukan hadits-hadits yang berbicara tentang keikhlasan ini salah satunya hadits yang di riwayatkan oleh : Abu Daud dan Nasa’i sebagai berikut :
اِنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ لاَ يَقْبَلُ مِنَ اْلعَمَلِ اِلاَّ مَا كَانَ لَهُ مُخْلِصًا وَابْتَغِي بِهِ وَجْهَهُ
“ Sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang dierjakan secara tulus, semata-mata untuk-Nya, yang dengan perbuatan itu mengharapkan keridhaan Allah”

2. Takwa

Sifat yang terpenting bagi seorang pendidik adalah takwa, banyak definisi para ulama tentang pengertian takwa, tetapi yang paling mudah memahaminya seperti yang dijelaskan oleh dialaog antara ubay bin Ka’ab dengan Umar sebagai berikut ;
Umar bin Khathab RA. Bertanya kepada Ubai bin Ka’ab RA, tentang TAQWA ini, aka berkatalah Ubai kepada Umar: “Pernahkah engkau melewati jalan yang penuh duri?” “Ya, Pernah”. Jawab Umar. Ubai bertanya lagi: “Apa yang anda lakukan saat itu?”. Umar menjawab: “Saya akan berjalan dengan sungguh-sungguh dan berhati-hati sekali agar tak terkena duri itu”. Lalu Ubai berkata: “Itulah TAQWA”.
Dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik hendaknya sang guru senantiasa memperhatikan setiap gerak langkah baik dirinya pribadi atau peserta didik sehingga tidak akan terpijak kepada duri seperti yang dimaksud dalam dialog diatas. (bersambung)

Sabtu, 29 Januari 2011

RENUNGAN BUAT TEMAN-TEMAN PENDIDIK


 
UNTUK PARA PENDIDIK
By:Drs. Taufik Sakni, M.Pd.I

Jika anak-anak hidup dalam kecaman,
mereka belajar untuk mengutuk.
Jika anak-anak hidup dengan permusuhan,
mereka belajar untuk berkelahi.
Jika anak-anak hidup dengan ketakutan,
mereka belajar untuk tercekam kekhawatiran.
Jika anak-anak hidup dengan belas kasihan,
mereka belajar untuk mengasihani diri sendiri.
Jika anak-anak hidup dengan cemoohan,
mereka belajar untuk menjadi pemalu.
Jika anak-anak hidup dengan kecemburuan,
mereka belajar untuk merasa iri hati.
Jika anak-anak hidup dengan rasa malu,
mereka belajar untuk menyalahkan diri sendiri.
Jika anak-anak hidup dengan toleransi,
mereka belajar untuk bersikap sabar.
Jika anak-anak hidup dengan dorongan semangat,
mereka belajar untuk menjadi percaya diri.
Jika anak-anak hidup dengan pujian,
mereka belajar untuk memberikan penghargaan.
Jika anak-anak hidup dengan persetujuan,
mereka belajar untuk menyukai diri sendiri.
Jika anak-anak hidup dengan penerimaan ,
mereka belajar untuk menemukan cinta di dunia ini.
Jika anak-anak hidup dengan pengakuan,
mereka belajar untuk memiliki tujuan.
Jika anak-anak hidup dengan kebiasaan saling berbagi,
mereka belajar untuk bermurah hati.
Jika anak-anak hidup dengan kejujuran dan keadilan,
mereka belajar memahami apa kebenaran dan keadilan itu.
Jika anak-anak hidup dengan keamanan,
mereka belajar untuk percaya terhadap diri sendiri dan terhadap orang-orang di sekeliling mereka.
Jika anak-anak hidup dengan persahabatan,
mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang menyenangkan untuk dihuni.
Jika anak-anak hidup dengan ketentraman,
mereka belajar untuk memiliki ketenangan pikiran.
Lantas Dengan apa anak-anak Anda menjalani kehidupannya?

Sumber (Dorothi L. Nolte)